Oleh: arkeologibawahair | 31 Oktober 2010

Waspadai Penerbitan Izin Arkeologi Bawah Laut

*Dikhawatirkan Menjadi Sarana Pemetaan Potensi Indonesia

KOMPAS Jawa Barat, Kamis, 28 Okt 2010 – Pemerintah diminta berhati-hati dalam menerbitkan izin penelitian arkeologi bawah laut kepada pihak asing. Pengalaman seputar banyaknya kasus pencurian benda berharga muatan kapal tenggelam harus menjadi pelajaran berharga untuk tidak sembarangan memberikan izin penelitian.

Hal tersebut disampaikan arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung Lutfi Yondri menanggapi paparan Dr Frank Joseph Hoff dari Atlantis Publications Inc yang memaparkan isi buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found karya Prof Dr Arisyo Nunes des Santos dalam sesi VII International Conference on Sundanese Culture di Hotel Salak The Heritage, Bogor, Rabu (27/10). Prof Santos sendiri telah meninggal dunia pada tahun 2005.

Menurut Lutfi, apa yang dipaparkan Santos dalam bukunya hanya berdasar pada hipotesis Plato. Dasar keilmuan yang disampaikan pun belum valid. Justru Lutfi mempertanyakan bukti seperti apa yang akan dicari untuk membuktikan bahwa Atlantis itu ada di Indonesia.

“Bukti yang akan dicari saja belum jelas, apalagi bukti yang telah dimiliki. Wilayah mana di Indonesia ini yang mereka sebut merupakan Atlantis. Kemudian mengapa katanya pintu masuk Atlantis itu berada di Selat Lombok, bukan di Selat Sunda, misalnya,” tutur Lutfi.


Sisa Atlantis

Dalam buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found yang diterbitkan pada 2005 tersebut, Santos menyimpulkan bahwa Atlantis-yang pertama kali diberitakan oleh Plato (428-348 SM) sebagai benua yang hilang-ternyata berada di paparan Sunda. Indonesia saat ini merupakan sisa-sisa Atlantis.

Sebagian besar dataran di paparan Sunda tersebut, kata Hoff, tertutupi air setelah permukaan air laut meningkat akibat mencairnya es di Kutub Utara.

Untuk itu, Hans Berekoven, salah seorang tim ekspedisi Atlantis, mengatakan, selama ini arkeolog sudah terlalu sering melakukan penelitian di daratan. Sudah saatnya sekarang arkeolog mengalihkan perhatian ke arkeologi bawah laut atau kelautan untuk menelusuri sejarah.

Terkait pernyataan Berekoven itu, Lutfi lagi-lagi memperingatkan pemerintah agar lebih cermat dalam memberikan izin penelitian di dasar laut, misalnya saja terkait pembuktian bahwa Atlantis berada di Indonesia.

Kalaupun diberi izin, kata Lutfi, harus diperjelas bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata dalam rangka mencari bukti-bukti peradaban. Jangan sampai justru setelah izin keluar, pihak asing malah memetakan semua potensi dan kekayaan bawah laut kita.

Apa yang disampaikan Hoff, kata Lutfi, berbeda jauh dengan paparan Prof Dr Stephen Oppenheimer, antropolog dari Oxford University. Penjelasan Oppenheimer mengenai pengaruh naiknya muka air laut di paparan Sunda terhadap migrasi penduduk dan budayanya di Asia Tenggara selama 15.000 tahun lebih, bagi Lutfi, lebih ilmiah.

Menurut Oppenheimer, masyarakat di paparan Sunda telah bercocok tanam, mencari ikan, dan berdagang melalui laut sejak 5.000 tahun yang lalu. Mereka tidak mempelajarinya dari orang Taiwan pada 3.500 tahun yang lalu. (adh)


Tinggalkan komentar

Kategori